Adalah satu tulisan singkat di sebuah media online yang memberitakan tentang sebuah desa tertinggal di dalam area Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Dua surveyor kami bernama Arief (Gethuk) dan Nikk kami utus untuk mencari tahu kebenaran berita tersebut.
Lalu konon katanya selalu ada jalan untuk kebaikan. Hingga akhirnya ada berita bagus yang mengatakan bahwa salah satu anggota 1n3b ternyata memiliki hubungan erat dengan salah satu kawan di bengkulu yang akhirnya mengantarkan kedua telik sandi tadi menelusuri keberadaan desa tersebut. Begitu data didapat, ceritapun mulai disuratkan di kalangan milis, kami (seperti biasa) segera melebarkan mulut ke mana-mana untuk mendapatkan simpati dan donasi. Tak banyak memang bantuan kali ini dikarenakan waktu persiapan kami begitu singkatnya berbanding dengan kegiatan 1n3b sebelumnya yang memakan waktu kurang lebih 6 bulan sebelum eksekusi.
Namun seperti yang saya tulis tadi selalu saja ada jalan untuk kebaikan, maka meskipun tak banyak sponsor maupun donasi yang hadir, akhirnya kamipun menuju Sungai Lisai- Pinang Belapis- Bengkulu.
Tidak seperti tahun lalu dimana kami berduapuluhan orang, kali ini kami menyadari bahwa kami hanya akan berdelapan saja dari Jakarta. Saya, Abah, Handy, Ijul, Bu Sita, Ferry, om CT dan pastinya Gethuk yang didaulat menjadi ketua. Namun waktu hari H tiba, seorang kawan muncul menjadi penyelamat. Karena menurut Abah (dalam guyonannya) ia menjadi penyelamat tim di saat mereka mengalami overweight baggage sebanyak 11 kilo di depan counter Sri******air. Namanya mas Undix, ia datang lengkap dengan perlengkapan Roket air dan helm sepedahnya. Nantinya, helm itu akan menjadi pacar setianya mas undix sepanjang perjalanan. Dan berangkatlah kami. Untuk mencapai desa Sungai Lisai kami harus terbang ke Bengkulu dari Jakarta. Dari Bengkulu kami menghabiskan 8 jam perjalanan dengan menggunakan mobil sewaan menuju desa terdekat, Desa Sebelat Ulu. Di sana atas ijin kepala desa Sebelat Ulu kami diijinkan untuk menginap di rumahnya sebelum berangkat keesokan harinya menuju Sungai lisai.
Mungkin anda bertanya bagaimana kami menggotong buku-buku dan perlengkapan lainnya. Dengan jumlah anggota yang sangat sedikit ini tidak mungkin kami harus memanggul 30 kardus buku, papan rumba, kardus kardus berisi logistic, belum lagi keril keril kami yang sebagian besar juga berisi peralatan untuk acara di sana. Hasil Survey menunjukkan nantinya kami akan memakai jasa penduduk setempat sebagai porter. Di sana para penyedia jasa ini disebut Capung. Dan inilah kami ke-sembilan pendekar melintasi hutan lebat dan berawa bersama beberapa capung-capung dan barang-barang di punggung mereka. Dengan tawa dan tangis yang membumbui perjalanan berlangsung selama 6 jam. Normalnya bagi penduduk setempat mereka dapat menggapai Desa Sungai Lisai hanya dengan berjalan 2,5-3 jam saja dari Sebelat Ulu!! Beberapa kali kami berhenti untuk membasuh sepatu dan mengeratkannya kembali. Hanya sekali saja kami berhenti cukup lama untuk membuka trangia dan membuat kopi sebagai penambah energi. Ada dua sungai besar yang harus kami lewati dengan tangan kosong. Tanpa bantuan jembatan bahkan tali. Aliran air sungai yang cukup deras tersebut sama sekali tak menyurutkan kami untuk menuju ke Sungai Lisai. Para capung itu ternyata cukup ramah juga dengan kami memberikan petunjuk dan bantuan saat anggota kami ada yang ketakutan melewati sungai sungai itu. Mereka membuat kami berjalan cepat supaya cepat sampai sebelum sore karena dikhawatirkan akan hujan.
Akhirnya sesudah pergulatan yang panjang dan melelahkan dengan alam dan berbecek becek dangan rawa, kamipun menginjakkan kaki di Sungai lisai kira-kira pukul tiga sore. Satu hal yang cukup menghibur sekali adalah ketika saya melihat abah berjoget ria sambil berdendang ala suku suku pedalaman dalam merayakan kebahagiaannya yang berhasil juga mengkatamkan hari itu menginjak sungai Lisai. Tak bisa saya tulis dengan kata-kata seperti apa si Abah berjoget dan bergaya suku Indian dengan“tari perut”. Saya berharap sekali bisa melihat videonya.
Kalau ketika di Sumba kemarin kami menemui gedung sekolah sederhana dengan hembusan angin lembah di Ngadulanggi dan bukit teletabis di kanan kirinya, maka kali ini tidak. SDN Pinang Belapis 06 itu dikelilingi hutan, ia terletak tepat persis di jalan masuk desa. Suasana tenang menyelimuti gedung sekolah yang dekat dengan perkampungan dan rumah-rumah panggung penduduk yang berjumlah kurang lebih 300an orang dengan 69 KK (CMIIW). Belum lagi jajaran bukit barisan yang menjadi mountain-view tiap kali melongokkan kepala keluar jendela gedung. Serasa di paradise bagian Andalas. Green, peaceful, and quiet..
Kami di tampung di rumah sekdes Sungai Lisai, Pak Herman. Ada hal yang lucu mengenai sekdes ini. Di sini kami, mau tak mau mandi di sungai seperti halnya penduduk lainnya. Kebetulan saya sering berduet dengan mba Ijul untuk man-ber (mandi bareng). Tentu saja area mandinya terpisah antara pemandi laki laki dan perempuan. Dan sebagai pemula kami agak kagok dan risih juga mandi dikali, Cuma berbalut sarung dan harus menceburkan diri di aliran sungai bersama penduduk lainnya. Belum lagi merasakan dinginnya sungai di lembah TNKS tersebut. Penduduk setempat rupanya cukup mengerti bahwa kami tak terbiasa dengan itu karenanya mereka hanya tertawa tawa saja saat saya dan mba Ijul berisik karena kedinginan. “gimana kalau tiba-tiba ada yang muncul waktu kita nyelem yah mbak?” hehehehe “palingan juga abah san”
Ketika asik asiknya kami bergosip sambil mandi, tiba tiba kami dikejutkan oleh pemandangan sesosok laki-laki tinggi besar dari seberang. Saya kira ia akan hanya membasuh muka di samping sungai ternyata ia melewati sungai yang cukup deras tersebut. “Mbakkk balik arah sana ada yg ngelihat kita.. tapi ga papa sih ga bakal ketemu ini.” Dan ia pun berlalu. Sekembalinya kami dari acara mandi pertama di sungai Lisai, kami terkejut ketika kami sadar laki-laki tadi adalah si Tuan rumah, pak Sekdes!!! Duenggg!!!!
Malam pertama kami lewati dengan meeting bersama para petinggi desa dan penduduk setempat. Pak Kepala desa kebetulan sedang ada di Kecamatan memenuhi undangan dari pak camat. Sehingga semua urusan diserahkan ke sekretaris desanya. Pak herman tadi. Sore sebelum sampai di Seblat Ulu kemarin, kami sempat singgah di rumah pak camat di Lebong dan berbincang bincang dengan beliau yang mana saya ingat bahwa ia pernah mengantar anggota DPRD untuk berkunjung ke sungai Lisai namun gagal total karena mereka merasa jauh sekali dan sepatunya jebol. Oh iya, selama perjalanan dari Seblat Ulu saya dan beberapa rekan menggunakan sepatu patani, Taiyoko yang benar benar bandel, bahkan sepatu gunung pun tak senyaman memakai sepatu taiyoko. Sudah murmer (Cuma Rp. 10-15ribu saja sepasang) kuat pula. Saved my foot pokoknya.
Menjelang maghrib, salah satu anggota yang sengaja kami tinggal datang. Ya, Mas Undix emang disetting untuk ditinggal dan datang menyusul (mungkin sudah takdirnya sebagai yang terakhir muncul) karena ada barang-barang yang tak bisa dibawa karena ada capung yang harus kembali dengan barang-barang lainnya yang belum terangkut. Mas Undix datang dengan langkah lambat melewati jalanan sekitar rumah panggung. Dan bukannya disambut dengan red carpet. Malah diceng-cengin. Hahaha… piss mas.. makasih udah mau dikorbanin. 😀.
Malam itu, kami juga berunding dengan para guru SD Pinang Belapis mengenai kegiatan yang akan kita adakan keesokan harinya. Saya sendiri selain sibuk dengan buku-buku juga disibukkan dengan kegiatan yang berhubungan dengan perut para panitia. Otomatis, sore ketika akhirnya kami sampai tadi hal yang harus saya lakukan adalah menyimpan semua bahan makanan ke gudang di dekat dapur. Penduduk di sini selalu menyekat satu ruangan kecil untuk menyimpan bahan makanan, padi dan berbagai macam kebutuhan pokok di pojok di dekat dapur tempat mereka memasak. Sesudahnya saya mengintruksikan mereka untuk memasak beberapa menu plus langkah-langkahnya, sayapun meninggalkan mereka dan mengurus yang lain. Menurut saya sih tidak terlalu sulit mengajari ibu-ibu ini, karena pada dasarnya mereka juga memasak makanan seperti yang kami biasa makan. Tapi karena ada bahan yang belum pernah mereka temui, mereka jadi sering bertanya. Takut salah katanya. Baiklah saya jadi ketua PKK dadakan. Untung ga bego banget soal urusan nyalain kompor dan ngeracik bumbu :p Agak malam saya, mbak Ijul dan Handy ditemani beberapa guru langsung menuju tempat yang akan dijadikan Rumah Baca. Saya cukup tercengang ketika melihat tempat yang akan ditempati buku-buku tersebut. Satu ruang kecil dengan alas tanah, kawat sebagai jendelanya dan rak-rak berwarna hijau. Di salah satu rak tersebut, ada tulisan “dilarang hutang”. Ternyata sebelum dikosongin, tempat tersebut adalah toko milik guru SD Pinang Belapis yang ia relakan untuk dipakai sebagai rumah baca.
Sesudah heboh dengan rapat malam, acara susun buku dan rencana esok hari plus ditemani kopi racikan Opa CeTe, malam pertamapun kami lewati dengan tidur yang pulas. Ngampar bersama di ruang tamu supaya besok kami lebih berenergi. Abah yang kelupaan memasukkan sleeping bag mba Ijul mau tak mau harus berkorban dengan tidur berselimut sarung. Meski demikian tak menyurutkan suara genset alamiahnya itu mendengung beringinan dengan sura yang mendesis om Cete. Hehehe.. ajeb.
Keesokan hari, sesudah kembali mandi di Sungai dengan ditemani mba Ijul lagi, kami bersiap-siap ke lapangan depan Sekolah SD di sana. Mempersiapkan segala macam, saya sendiri masih sibuk sana sini, ruwet dengan mengomando Ibu-ibu memasak sup sehat untuk makan siang anak-anak. Untung Bu Sita juga sigap memantau dan memberi tahu cara memasaknya. Namun seperti main job saya di sana, saya sudah digariskan menata buku-buku yang tersisa semalam. Merapikannya karena siang nanti akan ada acara Di lapangan sekolah terlihat beberapa meja sudah terisi dengan peralatan permainan sains yang siap diserbu murid-murid dari kelas 3 hingga kelas 6. Mas Undik kebagian menjadi mentor baterei kentang, simulasi gempa bumi oleh pak ketua Getuk, Kamera Lubang Jarum (Kaka Ferry), teori air mancur oleh mbak Ijul dan saya sendiri dijadikan mentor telpon gelas plastik. Anak-anak kelas 1-2 dibawah naungan bu sita untuk belajar menggambar dan mewarna. Jujur sebenarnya kalau saja panitia banyak kita tidak akan double-triple job seperti itu, Tapi untunglah bisa dilalui dengan baik dan berhasil saja meskipun malam sebelumnya saya harus dan baru belajar materi yang diberikan. Hehehehe.. selalu menyenangkan belajar dadakan begitu.
Awalnya ketegangan dipecahkan oleh Ice breaking dari Bu Sita yang membuat mereka tersenyum, guru-gurupun tanpa sungkan mengikuti semua gerakan dan permainan yang ada. Begitu juga saat kegiatan sains tiap kelompok dipimpin oleh beberapa guru dan ini pun berlanjut saat acara pencarian harta karun di siang hari yang melibatkan rumah baca sebagai lokasi akhir permainan siang dan ditutup dengan acara makan siang bersama. Gelas minum dari plastic pun diberikan sebagai hadiah pertama buat senyum senyum manis anak-anak di Sungai Lisai siang itu. Menjelang sore saya kira semangat mereka sudah mereda, ternyata ketika permainan membuat yel-yel dilakukan tetap tak satupun dari mereka yang beranjak dari area desa. Sore hari pak kades datang dari “kota” dan langsung bergabung bersama kami. Dari sorot matanya tampak beliau sangat senang dengan kehadiran kami dan keceriaan anak-anak serta warganya. Kedatangannya bertepatan dengan acara penyerahan buku secara simbolis. Penyerahan tas dan alat tulis secara simbolis pun diberikan kepada dua anak di sana. Lucunya ketika selesai menerima tas tersebut anak tersebut menangis dan dan meminta supaya tas yang ia terima tadi dikembalikan. Alasannya karena teman-teman lainnya belum menerima!!!! (Ini baru Woooowww…)
Sore itu, Sungai Lisai mendung ngelangut. Kadang sedikit gerimis dan aroma hutan makin terasa. Lapangan volly di tengah-tengah kampong tetap ramai dikerumuni anak-anak dan penduduk sekitar. Acara lanjutan yang menjadi acara puncak buat mas Undik sore itu adalah permainan roket air. Dengan gegap gempita ia mengajari orang-orang bermain roket air dan murid-murid SD berbaris sambil diajari berhitung dalam bahasa Inggris oleh Bu sita. Kami yang bisa rehat sejenak? Sibuk mengabadikan moment tersebut. Damai rasanya di tengah hutan dengan keramaian seperti itu. Kok saya jadi mellow eaaa?
Malam menjelang, habis mandi di sungai dan mba Ijul tetep ngga mau mandi alias cuma ngambang ga jelas di sungai, sayapun kembali ke markas kami dan menikmati kopi serta mempersiapkan acara malam ini. Nonton film bersama di balai desa. Pak sekdes yang baik hati meminjamkan tv-nya yang lumayan gede dan DVD playernya untuk memutar film Laskar Pelangi, Garuda di dadaku dan ntah film apa lagi. Saya lupa karena sejujurnya saya sedang asik bercengkrama dengan ibu-ibu di dapur karena pengen banget membuat kudapan buat dinikmati malam itu. Karena tidak ada hasil perkebunan yang bisa dibikin untuk bahan kue, sayapun meminta mereka memarut kasar kelapa muda dan dicampur tepung, mentega serta gula dan vanili lalu digoreng. Di tempat saya ini namanya Gandos. Tapi karena mereka merasa amazed dengan kue ini, mereka menyebutnya dengan nama Kue Susan!!!!! Katanya supaya ingat terus dengan saya. Untung kepala saya tidak menjebol atap rumah pak sekdes karena keGRan.
Malam tidak terhenti di situ karena saya masih ada PR mengajari guru-guru untuk melabel dan menyampul buku sisa yang masih tergeletak. Sesudahnya kami tidur dan mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang keesokan harinya kembali ke Sebelat ulu.
Oh ya murid-murid itu bukan hanya dari Desa Sungai Lisai saja, kami juga mengundang adik-adik dari desa Air Putih yang letaknya masih satu jam perjalanan lagi dari S. Lisai dan melewati lagi sungai yang besar. Onde Mandeeee… Namun begitu semangat mereka sama, ingin merasakan acara yang kami bawa untuk mereka. Skenario peminjaman buku perpus juga sudah diatur oleh para guru, mereka akan ke sungai Lisai dan meminjam beberapa buku. Minggu depannya akan datang lagi mengembalikan buku dan meminjam buku yang lain. Begitu seterusnya. Dalam hati bagaimana kalau ternyata bukunya sudah dibaca semua? Akan baca buku yang sama kah mereka?? Well…
Esoknya tidak terhenti di situ. Pagi itu kami harus menahan tangis haru karena “dikejutkan” oleh permintaan guru-guru dan murid-murid untuk berdiri di depan mereka yang sudah rapi berbaris bak upacara bendera dengan seragam merah putih. Masih dengan pemandangan kaki yang beragam ada yang bersepatu, bersandal jepit dan juga ada yang tak beralas apapun. Lalu Surpriseeeeee…. Seorang murid berdiri membaca puisi itu untuk kami, membuat kami yang sok tegar ini menahan isak tangis. “Sialannn gw ga bawa kacamata.” Mba Ijul berbisik sambil memalingkan muka. Tak memandang jenis kelamin, kamipun larut dalam haru dan semangat mereka yang ingin maju bersama kami katanya.
Sigh.. Adik adik kecil dan lugu berhati tulus yang jauh dari peradaban ibukota dan kota besar.. suatu hari nanti semoga bapak-ibu di atas kursi dalam gedung besar itu akan dengan sengaja mau meluangkan waktu mendatangi kalian dan sadar bahwa ada 300an warganya yang harus melintasi sungai sungai berarus deras untuk datang ke Sebelat Ulu, yang harus rela berjalan demi mengobati saudaranya yang sakit parah dan bahkan kadang ada yang meninggal di tengah jalan merenggang nyawa karena sudah tidak kuat lagi berjalan mencari puskesmas. Semoga mereka juga sadar bahwa ada sebagian orang tua yang harus melepas anak-anaknya untuk bisa melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama di desa seberang yang jauh sekali dan kembali sebulan sekali kadang lebih.
Dan saya tidak tau apakah akan ada kesempatan lagi menengok desa kecil di bawah kaki TNKS tersebut… Nice to see you all…
Sungai Lisai,
25-27 Nov 2011
Sumber/Source: http://susandjasma.wordpress.com/
Leave a Reply